Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa Manusia pada awal penciptaan telah melakukan
perjanjian primordial dengan Tuhan bahwa tidak ada tuhan apapun selain Tuhan
Yang Maha Esa, yang memiliki kemutlakan dan kemahakuasaan. Perjanjian
primordial secara sederhana diakatakan sebagai perjanjian yang bersifat privat
antara sang makhluk dan khaliqnya, antara manusia dengan Tuhannya. Tidak ada
pihak lain yang mengintervensi perjanjian itu. Apakah anda pernah merasa bahwa
anda berjanji untuk melakukan sesuatu ? apakah anda ingat poin-poin penting
dalam perjanjian itu ? ataukah anda sama sekali tidak tahu bahwa anda pernah
melakukan perjanjian untuk menaati dan melakukan ibadah kepada-Nya ?
Melalui
perjanjian primordial ini setiap diri manusia berada dalam kesaksian mengenai
suatu wujud yang mengatur segala tatanan sebab dan akibat, yang menjadi Tuhan
bagi setiap manusia, hingga jiwa manusia berada dalam ketundukan, ketaatan
serta terus menerus menyembah dan mencintai Sang Wujud kekal. Hasrat untuk
tunduk dan taat ini menjadi naluri asasi dalam jiwa manusia.
Dari awal
penciptaan tersebut manusia dianugerahi cukup ketajaman naluri untuk mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk melalui logika dan pemikiran yang dengannya
menjadi istimewa dari segi penciptaan begitupun manusia memiliki hasrat
religius yang tak dimiliki makhluk manapun. Akan tetapi Tuhan memahami
kelemahan-kelemahan manusia akan ketidak mampuannya untuk menyalurkan hasrat
mendasarnya menyembah Tuhan, dalam perjalanan hidupnya manusia bisa melupakan
perjanjian primordial yang telah tertanam.
Banyak
diantara kita tidak menyadari kalau sebenarnya pernah melakukan berbagai
perjanjian kepada Allah SWT. Bahkan, perjanjian itu memiliki konsekuensi berat
bagi kehidupan seseorang di masa yang akan datang. Kesediaan umat manusia untuk
menyembah keberadaan Allah SWT sebagai
Tuhan yang Maha Agung dan menjadikannya Tuhan yang Maha Tunggal ini kemudian
dalam Islam dikenal dengan nama perjanjian tauhid. Inilah ”perjanjian primordial”
antara manusia dengan Tuhannya (QS Al A’raf [7]: 172). Pada ayat lain, Allah
SWT bercerita bahwa satu saat Dia menawarkan amanah yang begitu berat kepada
langit, bumi, dan gunung-gunung. Ternyata mereka semua menolak amanah itu
lantaran saking beratnya. Sekali lagi, pada saat itulah, makhluk yang bernama
manusia ini menyatakan sanggup mengemban amanah (QS Al Ahzaab [33]: 72). Atas
deskripsi ini, bimbingan Allah SWT yang berupa perintah dan larangan bagi
manusia pada hakikatnya hanyalah sekedar mengingatkan manusia pada sesuatu yang
telah diikrarkan di hadapanNya. Menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya
dalam kerangka ini menjadi kewajiban bukan lantaran semua itu diwajibkan Allah
SWT, tapi terlebih karena konsekuensi dari janji manusia di hadapanNya. Manusia
yang taat kepadaNya berarti manusia yang menepati janjinya kapadaNya. Dan orang
yang kufur kepadaNya adalah orang yang lalai akan janjinya kepadaNya.
Sikap
dasar tauhid ini menjadi barometer dalam beragama. Sebab, ada beberapa indikasi
kaum beragama namun tidak mau terlibat dalam ritual agama yang telah ada.
Mereka mempunyai kecenderungan untuk melakukan ritual berdasarkan hasil
imajinasi sendiri, atau penemuan diri atas beberapa ketentuan dalam beribadah.
Fenomena banyaknya orang yang mengaku nabi, dan dinabikan oleh pengikutnya
menunjukkan bahwa manusia kini tengah berada dalam fase kegamangan dalam
menjalani ritualitas untuk mengakui keberadaan Allah Yang Maha Tunggal.
Padahal
Allah telah mengingatkan sedemikian rupa. Masalahnya adalah; kapan kita pernah
berjanji? Tak seorangpun merasa telah mengikrarkan janji semacam itu di hadapan
Allah SWT. Itulah yang terjadi pada setiap manusia. Manusia tak pernah ingat
lagi kapan ia pernah berikrar bahwa Allah SWT sebagai Tuhannya dan berjanji akan
menunaikan amanahNya. Bukan hanya lupa. Tapi rasanya memang benar-benar tak
pernah melakukannya sama sekali. Bagaimana mungkin kita mengiyakan sesuatu yang
kita sendiri tak pernah sama sekali melakukakannya? Siapa salah? Seandainya
saja benar bahwa kita pernah berjanji, bukankah kita tak pernah dipersalahkan
akibat kelupaan kita? (QS Al Baqarah [2]: 286). Jawaban atas kemusykilan ini
terdapat pada seorang bayi yang berada dalam kandungan. Semua manusia tentu tak
ada yang mengingkari bahwa ia pernah berada dalam kandungan. Sedikit pun tak
pernah ragu bahwa ia pernah hidup di alam rahim sang ibu. Namun jika
ditanyakan, bagaimana rasanya berada di alam rahim, bisa dipastikan, tak
satupun manusia yang dapat mengingatnya. Semua memori lenyap sama sekali. Entah
bagaimana rasanya saat manusia berada di alam rahim dulu. Kendati demikian, ia
tak pernah mengingkari bahwa ia benar-benar pernah berada di sana. Apa yang
membuatnya yakin? Pengakuan ini didasarkan atas bukti nyata yang ia saksikan
pada makhluk yang bernama manusia. Ia tahu dengan pasti bahwa setiap manusia
hadir ke dunia dengan terlebih dahulu berada dalam kandungan seorang ibu.
Kemudian ia lahir ke alam dunia. Ia sendiri adalah manusia. Berarti ia juga
melewati proses yang sama. Inilah analogi induksi yang menghantarkan
argumennya. Ini adalah bukti yang terang dan meyakinkan (burhan mubin). Lantas,
apa bukti bahwa kita pernah melakukan perjanjian primordial? Bukti itu adalah
Al Quran. Ia ibarat sosok ibu mengandung-melahirkan yang membuktikan bahwa manusia
pernah melalui proses itu. Al Quran adalah bukti otentik dari Allah SWT dan
kesaksian atas apa yang kita lupa. Kemurnian dan kebenarannya dapat diuji
secara meyakinkan melalui bukti-bukti empiris. Kini tak ada lagi keraguan atas
janji itu; bahwa manusia telah mengikrarkan pengakuan di hadapan Allah SWT dan
menyatakan diri siap mengemban amanahNya. Apalagi jika kita mengaku seorang
muslim. Dikarenakan Allah SWT telah mengingatkan dengan bukti yang otentik ini,
maka manusia dipersalahkan jika masih tetap menyalahi janji.
Olehnya itu,
Tuhan dengan sifat bercakap-cakapnya yang kekal dan tak terbatas ruang waktu ( Al
Mutakallim)memberikan jalan kepada manusia untuk mengurangi
kelemahan-kelemahannya itu berupa bimbingan kepada jiwa-jiwa manusia yang
memiliki keinginan besar untuk senantiasa mencari jalan menyalurkan naluri
penyembahan, melalui wahyu-wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi sebagai
penyampai sekaligus teladan untuk diikuti. Wahyu-wahyu ini dalam
perkembangannya kemudian menjadi teks-teks suci.
Wahyu yang
berupa teks diturunkan secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan
peradaban, tatanan sosial maupun tingkat evolusi intelektual manusia pada
tempat dan zamannya. Mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, menunjukan ciri
khas teks yang terus dinamis. Teks Al Quran sendiri menawarkan keberadaan
teksnya lebih lengkap karena menampung teks-teks suci yang ada sebelumnya.
Akan tetapi
keberadaan teks Al Quran “yang lebih lengkap” pada masa awal perkembangan
Islam, tetap tidak melupakan kedinamisan Tuhan (Al Hadi / Maha Pemberi
Petunjuk) dalam membimbing umat-Nya mengatasi kelemahan-kelemahan. Salah
satunya kelemahan dalam menginterpretasikan makna dari teks tersebut. Hingga
diperlukan teladan dan contoh nyata dari hamba yang Dia kehendaki (Rasulullah)
yang menjelma menjadi teks lain, yakni hadits. Hal ini menunjukan pada masa
permulaan Islam pun, manusia tak luput dari kelemahan memahami makna Al Quran
untuk proses pengimplementasian dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil
dari ketepatan interpretasi teks pada masa permulaan tersebut dibuktikan dengan
kemajuan peradaban yang terbelakang (jahiliyah) menjadi peradaban maju yang
ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu sains serta ilmu-ilmu lain yang
merupakan pembebasan dari keterbelakangan penggunakan akal. Tentunya
interpretasi teks masa itu dengan sudut pandang yang sama pada waktu sekarang
akan menjadi timpang karena perbedaan situasi dan kondisi, baik politik,
budaya, perkembangan intelektualitas, pengetahuan, dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar