Selasa, 14 Mei 2013

Perjanjian Primordial



Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Manusia pada awal penciptaan telah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan bahwa tidak ada tuhan apapun selain Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki kemutlakan dan kemahakuasaan. Perjanjian primordial secara sederhana diakatakan sebagai perjanjian yang bersifat privat antara sang makhluk dan khaliqnya, antara manusia dengan Tuhannya. Tidak ada pihak lain yang mengintervensi perjanjian itu. Apakah anda pernah merasa bahwa anda berjanji untuk melakukan sesuatu ? apakah anda ingat poin-poin penting dalam perjanjian itu ? ataukah anda sama sekali tidak tahu bahwa anda pernah melakukan perjanjian untuk menaati dan melakukan ibadah kepada-Nya ?
Melalui perjanjian primordial ini setiap diri manusia berada dalam kesaksian mengenai suatu wujud yang mengatur segala tatanan sebab dan akibat, yang menjadi Tuhan bagi setiap manusia, hingga jiwa manusia berada dalam ketundukan, ketaatan serta terus menerus menyembah dan mencintai Sang Wujud kekal. Hasrat untuk tunduk dan taat ini menjadi naluri asasi dalam jiwa manusia.
Dari awal penciptaan tersebut manusia dianugerahi cukup ketajaman naluri untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk melalui logika dan pemikiran yang dengannya menjadi istimewa dari segi penciptaan begitupun manusia memiliki hasrat religius yang tak dimiliki makhluk manapun. Akan tetapi Tuhan memahami kelemahan-kelemahan manusia akan ketidak mampuannya untuk menyalurkan hasrat mendasarnya menyembah Tuhan, dalam perjalanan hidupnya manusia bisa melupakan perjanjian primordial yang telah tertanam.
Banyak diantara kita tidak menyadari kalau sebenarnya pernah melakukan berbagai perjanjian kepada Allah SWT. Bahkan, perjanjian itu memiliki konsekuensi berat bagi kehidupan seseorang di masa yang akan datang. Kesediaan umat manusia untuk menyembah keberadaan Allah SWT  sebagai Tuhan yang Maha Agung dan menjadikannya Tuhan yang Maha Tunggal ini kemudian dalam Islam dikenal dengan nama perjanjian tauhid. Inilah ”perjanjian primordial” antara manusia dengan Tuhannya (QS Al A’raf [7]: 172). Pada ayat lain, Allah SWT bercerita bahwa satu saat Dia menawarkan amanah yang begitu berat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Ternyata mereka semua menolak amanah itu lantaran saking beratnya. Sekali lagi, pada saat itulah, makhluk yang bernama manusia ini menyatakan sanggup mengemban amanah (QS Al Ahzaab [33]: 72). Atas deskripsi ini, bimbingan Allah SWT yang berupa perintah dan larangan bagi manusia pada hakikatnya hanyalah sekedar mengingatkan manusia pada sesuatu yang telah diikrarkan di hadapanNya. Menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya dalam kerangka ini menjadi kewajiban bukan lantaran semua itu diwajibkan Allah SWT, tapi terlebih karena konsekuensi dari janji manusia di hadapanNya. Manusia yang taat kepadaNya berarti manusia yang menepati janjinya kapadaNya. Dan orang yang kufur kepadaNya adalah orang yang lalai akan janjinya kepadaNya.
Sikap dasar tauhid ini menjadi barometer dalam beragama. Sebab, ada beberapa indikasi kaum beragama namun tidak mau terlibat dalam ritual agama yang telah ada. Mereka mempunyai kecenderungan untuk melakukan ritual berdasarkan hasil imajinasi sendiri, atau penemuan diri atas beberapa ketentuan dalam beribadah. Fenomena banyaknya orang yang mengaku nabi, dan dinabikan oleh pengikutnya menunjukkan bahwa manusia kini tengah berada dalam fase kegamangan dalam menjalani ritualitas untuk mengakui keberadaan Allah Yang Maha Tunggal.  
Padahal Allah telah mengingatkan sedemikian rupa. Masalahnya adalah; kapan kita pernah berjanji? Tak seorangpun merasa telah mengikrarkan janji semacam itu di hadapan Allah SWT. Itulah yang terjadi pada setiap manusia. Manusia tak pernah ingat lagi kapan ia pernah berikrar bahwa Allah SWT sebagai Tuhannya dan berjanji akan menunaikan amanahNya. Bukan hanya lupa. Tapi rasanya memang benar-benar tak pernah melakukannya sama sekali. Bagaimana mungkin kita mengiyakan sesuatu yang kita sendiri tak pernah sama sekali melakukakannya? Siapa salah? Seandainya saja benar bahwa kita pernah berjanji, bukankah kita tak pernah dipersalahkan akibat kelupaan kita? (QS Al Baqarah [2]: 286). Jawaban atas kemusykilan ini terdapat pada seorang bayi yang berada dalam kandungan. Semua manusia tentu tak ada yang mengingkari bahwa ia pernah berada dalam kandungan. Sedikit pun tak pernah ragu bahwa ia pernah hidup di alam rahim sang ibu. Namun jika ditanyakan, bagaimana rasanya berada di alam rahim, bisa dipastikan, tak satupun manusia yang dapat mengingatnya. Semua memori lenyap sama sekali. Entah bagaimana rasanya saat manusia berada di alam rahim dulu. Kendati demikian, ia tak pernah mengingkari bahwa ia benar-benar pernah berada di sana. Apa yang membuatnya yakin? Pengakuan ini didasarkan atas bukti nyata yang ia saksikan pada makhluk yang bernama manusia. Ia tahu dengan pasti bahwa setiap manusia hadir ke dunia dengan terlebih dahulu berada dalam kandungan seorang ibu. Kemudian ia lahir ke alam dunia. Ia sendiri adalah manusia. Berarti ia juga melewati proses yang sama. Inilah analogi induksi yang menghantarkan argumennya. Ini adalah bukti yang terang dan meyakinkan (burhan mubin). Lantas, apa bukti bahwa kita pernah melakukan perjanjian primordial? Bukti itu adalah Al Quran. Ia ibarat sosok ibu mengandung-melahirkan yang membuktikan bahwa manusia pernah melalui proses itu. Al Quran adalah bukti otentik dari Allah SWT dan kesaksian atas apa yang kita lupa. Kemurnian dan kebenarannya dapat diuji secara meyakinkan melalui bukti-bukti empiris. Kini tak ada lagi keraguan atas janji itu; bahwa manusia telah mengikrarkan pengakuan di hadapan Allah SWT dan menyatakan diri siap mengemban amanahNya. Apalagi jika kita mengaku seorang muslim. Dikarenakan Allah SWT telah mengingatkan dengan bukti yang otentik ini, maka manusia dipersalahkan jika masih tetap menyalahi janji.
Olehnya itu, Tuhan dengan sifat bercakap-cakapnya yang kekal dan tak terbatas ruang waktu ( Al Mutakallim)memberikan jalan kepada manusia untuk mengurangi kelemahan-kelemahannya itu berupa bimbingan kepada jiwa-jiwa manusia yang memiliki keinginan besar untuk senantiasa mencari jalan menyalurkan naluri penyembahan, melalui wahyu-wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi sebagai penyampai sekaligus teladan untuk diikuti. Wahyu-wahyu ini dalam perkembangannya kemudian menjadi teks-teks suci.
Wahyu yang berupa teks diturunkan secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban, tatanan sosial maupun tingkat evolusi intelektual manusia pada tempat dan zamannya. Mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, menunjukan ciri khas teks yang terus dinamis. Teks Al Quran sendiri menawarkan keberadaan teksnya lebih lengkap karena menampung teks-teks suci yang ada sebelumnya.
Akan tetapi keberadaan teks Al Quran “yang lebih lengkap” pada masa awal perkembangan Islam, tetap tidak melupakan kedinamisan Tuhan (Al Hadi / Maha Pemberi Petunjuk) dalam membimbing umat-Nya mengatasi kelemahan-kelemahan. Salah satunya kelemahan dalam menginterpretasikan makna dari teks tersebut. Hingga diperlukan teladan dan contoh nyata dari hamba yang Dia kehendaki (Rasulullah) yang menjelma menjadi teks lain, yakni hadits. Hal ini menunjukan pada masa permulaan Islam pun, manusia tak luput dari kelemahan memahami makna Al Quran untuk proses pengimplementasian dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil dari ketepatan interpretasi teks pada masa permulaan tersebut dibuktikan dengan kemajuan peradaban yang terbelakang (jahiliyah) menjadi peradaban maju yang ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu sains serta ilmu-ilmu lain yang merupakan pembebasan dari keterbelakangan penggunakan akal. Tentunya interpretasi teks masa itu dengan sudut pandang yang sama pada waktu sekarang akan menjadi timpang karena perbedaan situasi dan kondisi, baik politik, budaya, perkembangan intelektualitas, pengetahuan, dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar